MEMPERTIMBANGKAN KEMBALI DEMOKRASI
(Tugas Resumme & Komentar Pendidikan
Kewarganegaraan)
Sumber: Seputar Indonesia , Edisi Rabu, 19 Desember
2007
Ditulis oleh: Radhar Panca Dahana
Kelompok V:
1
Ari
Wulandari
2
Christina
Mamoedi
3
Fitri
Patomah Ritonga
SEKOLAH TINGGI
ILMU EKONOMI INDONESIA
I.
Resumme
Dalam dekade terakhir ini, kaum
menengah dan terutama elite gencar melaksanakan demokrasi. Bukan hanya dalam
perkara-perkara besar seperti seputar kebangsaan dan kenegaraan, tetapi juga
soal sederhana seperti pengaturan dilingkungan tempat tinggal. Masyarakat
seolah begitu mengagungkan demokrasi dan juga kembarannya, yaitu pasar bebas.
Sampai pada beberapa belahan dunia dimana pemimpinnya dengan sengaja dan
terbuka melecehkan nilai demokrasi, yang dimanipulasi masyarakat setempat tidak
berani menanggalkan demokrasi dan konsep pasar bebas dari identitas negerinya.
Inilah salah satu dampak dari globalisme.
Bila kita bisa mempertimbangkan
kembali demokrasi, mempertanyakan, menyaring, atau menyederhanakannya maka akan
tampak rinci dampak-dampak sosial kultural yang menjadi akibat dan
konsekuensinya. Semisal homoseksualitas, pornografi, ateisme, prostitusi, dan
lain-lain.
Satu dari prinsip dasar pasar
bebas, laissez faire atau kehendak
bebas dari seseorang untuk berbuat atau menyejahterakan dirinya melalui hukum. Laissez faire mengijinkan orang untuk
terus lebih kaya. Ideologi pasar bebas yang kita jalankan membuat sebagian
kecil orang menjadi majikan secara permanen, dan sisanya menjadi buruh, bahkan
budak juga secara permanen.
Prinsip utama demokrasi adalah
mayoritas memegang kendali, memegang kekuasaan dengan hak dan wewenang yang
dijamin undang-undang. Prinsip ini adalah aplikasi dari sebuah pemilihan yang
berbasis 50+1. Sebuah cara penciptaan kesepakatan yang aneh ketika 49% penduduk yang pendapatnya belum tentu
salah, atau bahkan mungkin lebih baik, kehilangan hak terlibat dalam keputusan
penting hingga di tingkat tertinggi negara. Persentase suara 1%, 2% atau bahkan
49% tidak akan bermakna apa-apa. Padahal seringkali suara-suara tersebut diperoleh dari cara
seperti intimidasi, penipuan, penggelapan,
atau penggunaan uang.
Bila demokrasi dan pasar bebas
dengan berbagai alasan tidak sesuai dengan historikal bangsa kita, lalu kenapa
kita masih saja mengaplikasikannya. Kenapa tidak kita buang saja, atau kalau
memang tetap harus ada sebagai bentuk gimmick
dalam pergaulan, kita pakai saja sesekali sebagai pelengkap dalam
menyelesaikan beberapa persoalan. Terlalu mahal, nasib bumi ini jika sederet
pemimpin hanya berkualitas “51”. Kita
tetap butuh pemimpin dengan kualitas sederhana, prihatin, jujur, dan cerdik,
kapan dan dimana saja. Tapi tampaknya sampai saat ini kita masih saja gandrung
dengan upaya me “51” kan
diri.
II.
Komentar
Untuk pelaksanaan demokrasi dan
pasar bebas di Indonesia
sepertinya tidak sesuai dengan kultur historikal bangsa. Masyarakat kita
cenderung menjadi salah dalam mengartikan konsep dasar dari demokrasi dan pasar
bebas. Dan hal ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang melihat kelemahan ini.
Dalam hal demokrasi, karena acuannya pemenang adalah mayoritas suara terbanyak,
maka banyak orang yang berlomba menjadi kaum mayoritas dengan berbagai cara
sehingga memungkinkan untuk menjadi pemegang kekuasaan dan wewenang. Kualitas
pemimpin pun jadi mengkhawatirkan.
Dalam hal pasar bebas,
mengakibatkan kesenjangan sosial yang amat sangat dikarenakan masyarakat lokal
belum siap untuk bersaing. Terlebih lagi konsep pasar bebas yang diusung
cenderung berpihak pada kepentingan satu golongan saja.
III.
Saran
Bangsa
Indonesia
sebaiknya memikirkan kembali untuk memakai demokrasi dalam aplikasi pemecahan
persoalan kehidupan sehari-hari maupun dalam tingkat kewarganegaraan. Dengan
melihat kultur historikal bangsa Indonesia ,
musyawarah untuk mufakat lebih sesuai untuk diaplikasikan di masyarakat di Indonesia . Hal
ini sesuai dengan nilai-nilai Pancasila terutama sila keempat yang memang nilai
tersebut digali dari akar kepribadian bangsa Indonesia . Dengan musyawarah untuk
mufakat, diharapkan akan menimbulkan iklim kehidupan bernegara yang baik, dapat dihasilkan
pemimpin yang berkualitas, dan kesejahteraan masyarakat bisa merata. Demokrasi harus diimbangi dengan
kewajiban, bahwa semua bentuk kebebasan yang telah diklaim sebagai hak harus
disertai dengan kewajiban untuk terus membangun kebersamaan, mengasah kemampuan
menghargai dan mengakomodasi pikiran dan pendapat pihak lain yang berbeda untuk
menghasilkan kompromi dan kewajiban untuk tetap memperjuangkan
tercapainya cita-cita bersama. Tanpa kesepakatan dan
komitmen seperti ini tidak akan pernah berhasil menjalin sinergi dalam proses
pembangunan, dan apa yang kita kerjakan secara sendiri-sendiri bisa bersifat
kontraproduktif, saling bertentangan satu sama lain, dan bahkan saling
meniadakan.
great artikel
BalasHapus