Rabu, 31 Desember 2014

Mempertimbangkan Kembali Demokrasi

MEMPERTIMBANGKAN KEMBALI DEMOKRASI
(Tugas Resumme & Komentar Pendidikan Kewarganegaraan)
Sumber: Seputar Indonesia, Edisi Rabu, 19 Desember 2007
Ditulis oleh: Radhar Panca Dahana













Kelompok V:

1        Ari Wulandari
2        Christina Mamoedi
3        Fitri Patomah Ritonga











SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI INDONESIA
KAMPUS E SUNCITY SQUARE


I.            Resumme
Dalam dekade terakhir ini, kaum menengah dan terutama elite gencar melaksanakan demokrasi. Bukan hanya dalam perkara-perkara besar seperti seputar kebangsaan dan kenegaraan, tetapi juga soal sederhana seperti pengaturan dilingkungan tempat tinggal. Masyarakat seolah begitu mengagungkan demokrasi dan juga kembarannya, yaitu pasar bebas. Sampai pada beberapa belahan dunia dimana pemimpinnya dengan sengaja dan terbuka melecehkan nilai demokrasi, yang dimanipulasi masyarakat setempat tidak berani menanggalkan demokrasi dan konsep pasar bebas dari identitas negerinya. Inilah salah satu dampak dari globalisme.
Bila kita bisa mempertimbangkan kembali demokrasi, mempertanyakan, menyaring, atau menyederhanakannya maka akan tampak rinci dampak-dampak sosial kultural yang menjadi akibat dan konsekuensinya. Semisal homoseksualitas, pornografi, ateisme, prostitusi, dan lain-lain.
Satu dari prinsip dasar pasar bebas, laissez faire atau kehendak bebas dari seseorang untuk berbuat atau menyejahterakan dirinya melalui hukum. Laissez faire mengijinkan orang untuk terus lebih kaya. Ideologi pasar bebas yang kita jalankan membuat sebagian kecil orang menjadi majikan secara permanen, dan sisanya menjadi buruh, bahkan budak juga secara permanen.
Prinsip utama demokrasi adalah mayoritas memegang kendali, memegang kekuasaan dengan hak dan wewenang yang dijamin undang-undang. Prinsip ini adalah aplikasi dari sebuah pemilihan yang berbasis 50+1. Sebuah cara penciptaan kesepakatan yang aneh ketika  49% penduduk yang pendapatnya belum tentu salah, atau bahkan mungkin lebih baik, kehilangan hak terlibat dalam keputusan penting hingga di tingkat tertinggi negara. Persentase suara 1%, 2% atau bahkan 49% tidak akan bermakna apa-apa. Padahal seringkali  suara-suara tersebut diperoleh dari cara seperti intimidasi, penipuan, penggelapan,  atau penggunaan uang.
Bila demokrasi dan pasar bebas dengan berbagai alasan tidak sesuai dengan historikal bangsa kita, lalu kenapa kita masih saja mengaplikasikannya. Kenapa tidak kita buang saja, atau kalau memang tetap harus ada sebagai bentuk gimmick dalam pergaulan, kita pakai saja sesekali sebagai pelengkap dalam menyelesaikan beberapa persoalan. Terlalu mahal, nasib bumi ini jika sederet pemimpin hanya berkualitas  “51”. Kita tetap butuh pemimpin dengan kualitas sederhana, prihatin, jujur, dan cerdik, kapan dan dimana saja. Tapi tampaknya sampai saat ini kita masih saja gandrung dengan upaya me “51” kan diri.



II.            Komentar
Untuk pelaksanaan demokrasi dan pasar bebas di Indonesia sepertinya tidak sesuai dengan kultur historikal bangsa. Masyarakat kita cenderung menjadi salah dalam mengartikan konsep dasar dari demokrasi dan pasar bebas. Dan hal ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang melihat kelemahan ini. Dalam hal demokrasi, karena acuannya pemenang adalah mayoritas suara terbanyak, maka banyak orang yang berlomba menjadi kaum mayoritas dengan berbagai cara sehingga memungkinkan untuk menjadi pemegang kekuasaan dan wewenang. Kualitas pemimpin pun jadi mengkhawatirkan.
Dalam hal pasar bebas, mengakibatkan kesenjangan sosial yang amat sangat dikarenakan masyarakat lokal belum siap untuk bersaing. Terlebih lagi konsep pasar bebas yang diusung cenderung berpihak pada kepentingan satu golongan saja.



III.            Saran

Bangsa Indonesia sebaiknya memikirkan kembali untuk memakai demokrasi dalam aplikasi pemecahan persoalan kehidupan sehari-hari maupun dalam tingkat kewarganegaraan. Dengan melihat kultur historikal bangsa Indonesia, musyawarah untuk mufakat lebih sesuai untuk diaplikasikan di masyarakat di Indonesia. Hal ini sesuai dengan nilai-nilai Pancasila terutama sila keempat yang memang nilai tersebut digali dari akar kepribadian bangsa Indonesia. Dengan musyawarah untuk mufakat, diharapkan akan menimbulkan iklim kehidupan  bernegara yang baik, dapat dihasilkan pemimpin yang berkualitas, dan kesejahteraan masyarakat bisa merata. Demokrasi harus diimbangi dengan kewajiban, bahwa semua bentuk kebebasan yang telah diklaim sebagai hak harus disertai dengan kewajiban untuk terus membangun kebersamaan, mengasah kemampuan menghargai dan mengakomodasi pikiran dan pendapat pihak lain yang berbeda untuk menghasilkan kompromi dan kewajiban untuk tetap memperjuangkan tercapainya cita-cita bersama. Tanpa kesepakatan dan komitmen seperti ini tidak akan pernah berhasil menjalin sinergi dalam proses pembangunan, dan apa yang kita kerjakan secara sendiri-sendiri bisa bersifat kontraproduktif, saling bertentangan satu sama lain, dan bahkan saling meniadakan.

1 komentar: